Kamis, 29 Desember 2011

Kumpulan KTI, SKRIPSI,

JUDUL SKRIPSI FARMASI

1. UJI DAYA ANTI BAKTERI MUEHLLEN BECKIA PLATYYCLA -95 DAMEISYN (JAKANG) DAN SKRINING FITO KIMIANYA
2. FORMULA SUSPENSI KKLORAM FENIKOL PALMITAT MENGGUNAKAN DERIVAT SELULOSA SEBAGAI ZAT PENSUSPENSI - 92
3. STUDI KADAR MINYAK AKSIRIDARI CURCUMA AERO DINOSA ROAB SELAMA MASA TUMBUH - 83
4. EFEK ANALGETIK BEBERAPA FRAKSI DAUN JUSTICIA GENDA RUSSA BURM F PADA MENCIT - 89
5. STUDI PENDAHULUAN PENGARUH FAKTOR-FAKTOR NON FARMASI TERHADAP MOTIVASI PEMILIHAN APOTIK - 95
6. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT AKAR SENGGUGU (CLERODEN DRON SERRATUM SPRENG) TRHADAP RESPON - 98 HISTAMINIK DAN KLI NERGIK TRAKEA TERISOLASI NIARMUT
7. PENGARUH PENGGUNAAN CMC NA. HIDRO MELOSE METILSE LULOSE DAN HIDROK SIETIL SELULOSE SEBGAI BAHAN - PENSUSUPENSSI TERHADAP STABILITAS FISIS SUSPENSI TRISULFA -90
8. UJI HMABATAN PELEKATAN LIBRIO CHOLERAE 01 PADA SEL ENTEROSIT USUS HALUS TIKUS MENGGUNAKAN ANTIBODI POLIKLONAL ANTI PROTEIN 36 KDA DAN KDA
9. EFEK 4 METIL KURKUMIN DAN 4 (PARA METIL PENIL ) KURKUMIN TERHADAP AKTIVITAS BLUTATION S TRASEE RASE LIVER TUKUS – 00
10. PERILAKU ASPER GILLUS OKY 2AE, 1, SOJAE RHIZOPUS OLIGOSPORUS DAN R. ORYZAE PADA KADAR GUKOSIDA SIANOGEN BIJI KOO BENGUK (MUCUNA PRU RIENS D.C) – 90
11. FARMA KOKINETIKA SALISILAT PADA KELINCI SETELAH PEMBERIAN INJEKSI INTRA VENA DAN INFUS INTAVENA SELAMA 20 DAN 30 MENIT -95
12. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI ANTIGEN VIRUS DENGUE SEROTIPE 1,2,3 DAN 4 SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI ANTIGEN- 93
13. PERBEDAAN ARKLIRASI PADA TURUNAN ESTER MALONAT DENGAN MENGGUNAKAN N-BUTIL IODIDA DAN ISOPROFIL IODIDA -90
14. STUDI INHIBISI SENYAWA ANALOG KURKUMIN TERHADAP AKTIVITAS GLUTATION S-TRANSFERRASE LIVER TIKUS DENGAN SUBLTRAS I-KLORO 24 DINITROBENZAN -98
15. ISOLASI ANTIBIOTIK PENISILIN DARI BIAKAN PENICILLIUN NOTATUM AT ACC NO. 9179 -92
16. AKTIVITAS BIOLOGIS FRAKSI RISIDU EKSTRA KETANOL DAUN GYNURA PROCUMBENS (LOUR0 MERR TERHADAP KULTUR SEL DAN KULTUR SEL MIELOMA – 98
17. STUDI INHIBSI SENYAWA ANALOG KURKULUM TERHADAP AKTIVITAS GLUTATION S-TRANFERRASE LIVER TIKUS DENGAN SUBSRAT 1,2 DIKLORO 4, NITROBENZEN – 98
18. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI IMUNO GLOBULIN 6 (IG 6) ASAM ANTI PROTEIN SUB UNIT PIU SHIGELLA FLEXNEN - 95
19. PENGARUH INFUS DAUN (LERODENDRAN SEPRATAN SPENY) TERHADAP KELARUTAN KALSILIM BATU GINJAL SECRA INVITRO – 90
20. ISOLASI DAN PENETAPAN KADAR STIGMASTEROL DALAM KEDELAI TAHU DAN AMPAS TAHU – 92
21. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FLAVOVOID DARI TUMBUHAN IMPERATA CLYLINDRICA BEAUV VARE MAJOR HUBB – 93
22. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FLAVONOID DARI RIMAPANG ZINGIBER PURPURFUN ROXB – 90
23. SINTETIS NIS DI ASIL L-SISTE IN DAN PENGARUH PANJANG RANTAI KARBON TERHADAP SALMONELLTYPHI – 93
24. BERBAGAI MEDIA TUMBUH ESCHERICHIA SOLI UNTUK MENGUBAH BERZIL PENISILIN MENJADI ASAM G AMINO PENSILANAT – 91
25. DETEKSI AKTIVITAS ASPARA BINASE DALAM DAUN LORANTHUS GLOBASUSU POXB – 90
26. PENGARUH SARI SCURRULA LAPIDATA (BI) G DOZ TERHADAP AKTIVITAS FOSFATASE ALKALI, GLUTAMAT OKSALO ASETAT TRANSAMINASE DAN KADAR PROTEIN TOTAL SERUM TIKUS PUTIH JANTAN YANG TELAH DIPERLAKUKAN DENGAN BENZILIN. -92
27. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI ISOLALONOLD DARI KULIT KAYU GLINEIDIA SEPIUM (JECD) STEBUD – 92
28. UJI TOKSISITAS AKUIT ANTESTERIN DALAM EKSTRAK ASETON DAUN KUPATONIUM INULI FOLIUM H.B.K PADA ARTEMIA SALINO LOARH – 98
29. SINTESIS P ETI BENZOFENON DARI ASAM P. ETIL BENZOAT DAN BEN ZEN – 89
30. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIU NOGLO BULIN G (lg G) AYAM ANTI PROTEIN SUB UNIT PIU SALMONELLA TYIHI – 95
31. PENGARUH PROKLOK PERAZIN TERHADAP TRANSFOR AKTIF GLUKOSA PADA MEMBRAN USUS HALUS TIKUS IN SATU – 90
32. PENGARUH RADIASI SINAR GAMMA CO-GO TRHADAP ASAN AMINO BEBAS DAN DAYA SIMPAN UDANG (PENAELES MONODON FABRICIUSI) – 90
33. UJI SITOTOKSISITAS KUKUMIN DAN 4 PARA FLUO ROFENSI KURKUMIN TERHADAP SEL MIELOMA – 98
34. PENGARUH INFUS DAUN BARLONIA PRIRUTIS L TERHADAP KELARUTAN KALSIUM BATU GUNJAL SELAMA IN-VITRO – 90
35. PENETPAN KADAR VITAMIN BI DI DALAM KACANG KEDELAI SETA OLAHANYA - 91
36. PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DALAM PENYALHGUAAAN DI KALANGAN MAHASWA UNIVERSITAS GAJDAH MADA - 95
37. EFEK EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI ESKTRAK METANOL SPONCE KODE B 88 TERHADAP STAPHNY LOCOCCUS AUREUS ATCC 25933, ESCHESICHIA COLI ATCC 25922 DAN DANDIDA ALBBICANS SERTA AKTIVITAS TERHADAP ARTEMIA SALINA LEARH – 98
38. DAYA LARUT INFUS RUMPANG KUNYIT (TANAMAN CURCUMA ROMOSTICA VAL) TERHADAP BATU GINJAL KALSIUM SECARA INVITRO – 93
39. UJI HAMBATAN PE;ETAKAN VIBRIO CHOLERAE O1 PADA SEL ENTEROSIT USU HALUS TIKUS MENGGUNKAN ANTI BODI POLIKLONAL ANTI PROTEIN 36 KDa DAN 48 Kda – 99
40. PENETAPAN KADAR VITAMIN C SECARA SPEKTROFOTO METRISINAR TAMPAK MENGGUNAKAN PEREAKSI 1-KLORO-2,4 DINITROBENZENA DALAM SEDIAAN FARMASI TANPA PEMISAHAN LEBIH DAHULU – 93
41. PENGARUH INFUS DAUN BERLENA PRIONITIS L. TERHADAP KELARUTAN KALSIUM BATU GINJAL SECARA INVITRO – 90
42. PENGARUH INFUS DAUN CLERO CLENDRON SEBRATUN SPRENY TERHADAP KELARUTAN KELSIUM BATU GINJAL SECRA INVITRO – 90
43. PENETAPAN AKTIVITAS ENZIM YANG BERKELARUTAN SEBAGAI INVERTASE DARI HASIL FERMENTASI OLEH RAGI ROTI (SACCHA ROMY LES CEREVISIAE) DENGAN INSIDUR AMILUM BERAS – 97
44. PENGARUH FLUFENAZIN HIDRO KLORIDA TERHADAP ABSORBSI GLUKOSA PADA MEMBRAN USU HALUS TIKUS – 90
45. ISOLASI DAN IDDENTIFIKASI PEKTIN DARI KULIT PISANG KEPOK – 04
46. UJI PENDAHULUAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA SERBUK CACING PATAK TERHADAP SALMONELLO TYPHI – 02
47. PENGEMBAGAN FOMULASI SEDIAAN TABLET DEKSAMETASON SECARA KEMPA LANGSUNG DENGAN TEKNIK DISPERSI PADAT – 04
48. MIKROENKAPSULASI TEOFILIN DENGAN PROTEIN KEDELAI HITAM ( GLYCINEMAX ) SEBAGAI PENYALLIT MENGGUNAKAN METODE DENATURASI – 05
49. PENGARUH INFUSA DAUN KUMIS KUCING ( ORTHOSIPHOARISTATUS, BI. MIG) TERHADAP JUMLAH URINA TEKANAN DARAH KUCING TERANASTESI -03
50. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTEI ESKTRAK ESTANOL DARI DUA METODE MASERASI KOTEKS KAYU MANIS JANGAN ( CINNAMOMUN BURMANNI NESS EX BI.) TERHADAP ESCHERICHIA COLI SERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA – 01
51. PENGARUH VARIASI WAKKTU FERMENTASI TERHADAP KADAR ESTANOL HASIL FERMENTASI KULIT SINGKONG ( MANIHOT UTILLISSMA PAHL) – 04
52. PENGARUH METODE PENYARIAN TERHADAP PERBEDAAN HASIL ANALISIS KADAR TANIN DALAM DAUN JAMBU BIJI ( PSIDIUM GUAJAVA L. ) SECARA SPEKTROFOTOMETRI SINAR TAMPAK – 04
53. UJI KEPEKAAN BAKERI PATOGEN PADA URIN DARI LABORATORIUM KLINIK DAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH YOGYAKARTA TERHADAP ANTIBIOTIK – 04
54. PROFIL SIFAT FISIK DAN PELEPASAN OBAT TABLET ASETOSAL PRODUK PATEN DAN GENERIK YANG BERDAR DI MASYARAKAT – 04
55. TINJAUAN POLA PENGOBATAN HIPERTENSI PRIMER PADA PASIEN GERIATRI DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2003 – 05
56. PENGARUH INFUSA DAUN KETEPENG CINA ( CASSIA ALATA L) TERHADAP KADAR TRILISERIDA TIKUS PUTIH WISTAR YANG DIBERI DIET LEMAK TINGGI – 04
57. RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT UNTUK PENYAKIT HIPERLIPIDEMI PADA PASIEN GERIATRI INSTALASI RAWAT INAP PENYAKIT DALM RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2000 S/D 2001 – 02
58. CARA PEMBUATAN SIMPLEKS YANG BAIK DAN PEMERIKSAAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF DARI RIMPANG TEMU LAWAK ( CURCUMA XANTLIORRHIZA ROXB) – 01
59. UJI DAYA ANTIINPLAMASI NATRIUM PENTAGAMAVUNONAT – O YANG DIBERIKAN SECRA PERORAL TERHADAP UDEM KAKI TIKUS TERINDUKSI FORDIAL DEHID – 04
60. PENGARUH KADAR BAHAN PENGIKAT MUSILAGO AMILUM JAGUNG (ZEA MASY, L) TERHADAP MIGRASI TABLET VITAMIN BG SETA SIFAT FISIK TABLET – 04
61. ISOLASI FRAKSI AKTIF ANTIMIKROBA HERBA PATAH TULANG ( EUPHORBIA TIRUCALLI L) TERHADAP CANDIDA ALBICANS – 05
62. PENGARUH PEMBERIAN SUSU KUDA FERMENTASI TERHADAP ANTI BODI IMUNOGLOBULIN A ( LgA) MENCIT SETELAH VAKSINASI HEPATITIS A – 03
63. DAYA ANTI INFLAMASI KOMBINASI JUS APLE HIJAU ( PYRUS MALUS. L) DAN WORTEL ( DAUCUS CAROTA L.) PADA MENCIT BETINA – 05
64. PENGARUH SISITEM PENYARIAN DAUN SALAM ‘ EUGENIN PLYANTA WEIGTH” TERHADAP BACTERI ASCHERICIA COLI DAN STAPHYLOCOCCUS AUREUS SECARA IN VITO – 99
65. UJI AKTIVITAS ANTI BACTERI RIMPNG TEMULAWAK “ CURCUMA XANTHORRHIZA DAN ESCHERICHHIA COLI SECARA IN VITO – 99
66. EFEK FRAKSI CHLOROFORM SERBUK DAUN MIMBA ( AZADIRANTA A JUSS) TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH PADA TIKUS JANTAN WISTAR – 05
67. TINJAUAN POLA PENGOBATAN HIPERTENSI PRIMER PADA PASIEN GEIETRI DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2003- 03
68. KOMBINASI AEROSIL AVICET PH 101 DALAM FORMULASI TABLET EKSTRAK BIJI WALUH ( CURCUBITA MOSCHATA/ DUCH0 POIR – 05
69. PROFIL PELEPASAN TEOFILIN DARI GRANIL SEDIAAN LEPAS LAMBAT MENGGUNAKAAN METOCHEL K 15 M SEBAGAI MATRIK – 05
70. PENGOBATAN SENDIRI MENGGUNAKAN ANALGETIKA ANTIPIRETIK OLEH MASYARAKAT KOTA YOGYAKARTA. – 05
71. TOKSIFITAS AKUT EKSTRAK CHOROFORM DAN EKSTRAK METHANOL BUAH LEUNEA ( SOLANEUM NINGRUM. L ) TERHADAP LARVA ATEMINA SALENA LEACH. – 02
72. PENINGKATAN KADAR POLISAKARIDA PADA TULANG JAMUR SITAKE DAN PENAMBAHAN VITAMIN B1 DAN MAGNESIUM SULFAT PADA MEDIA TANAM SERTA UJI IMUNOMODULATORNYA PADA SEL LIMFOSIT MENCIT – 04
73. UJI AKTIVITAS INVUS DAUN KEPEL SEBAGAI PENURUN KADAR ASAM URAT DALAM DARAH – 00
74. UJI AKTIVITAS INFUS DAUN SIRIH (PIPER BETLE L ) TERHADAP PERTUMBUHAN CANDIDA ALBICANS – 00
75. POLA PENGOBATAN PENYAKIT HEPERTENSI PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD KOTA YOGYAKARTA SELAMA TAHUN 2004 -2006 - 06
76. UJI EFEK ANALGETIKA INFUS DAUN SENGGGANI (MELASTOMA OFFINE D-DON) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR DDI - 05
77. PENATA LAKSANAAN TERAPI PASIEN KERACUNAN MAKANAN DI INSTALASI RAWAT INAP DI RSUD WATES DIY TAHUN 2000 – 2005
78. IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM (DPR) DALAM PENGOBATAN DUNGUE HEMORAGIE FEVER (DHF) PADA PASIEN PEDIATI DI INSTALASI RAWAT INAP RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTAA PERIODE FEBRUARI - APRIL 2006 - 06
79. UJI AKTIVITAS FRAKSI AKTIF EKSTRAK DIKLORMETAN DAUN CAKRING (ERITHRINA FUSCA LOUR) TERHADAP SEL KANKER LEHER RAHIM (SEL, HELA) TINJAUAN SITOTOSIK, ANTIPROLIKERATIF DAN PEMACUAN AMAPTOSIS - 06
80. PENINGKATAN KELARUTAN PIROKSIKARTI MELALUI PEMBENTUKAN KOMPLEKS DENGAN POLI ETILEN GLIKOL – 4000 – 05
81. POLA PENGOBATAN DEPRESI DI RUMAH SAKIT DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2005 – 07
82. EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN ASMA DI INSTLASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA. PERIODE JANUARI – DESEMBER 2005 – 05
83. EFEK SURPRESIF CURCUMA XANTHORRIZA ROXG TERHADAP PROGRESIFITAS RHEUMATITOID ARTHRITIS PADA TIKUS JANTAN GALUR WISATA SETELAH TERINDUKSI COMPLETE FREUND’S ADJUSXANT DITINJAU DARI PARAMETER C DARAH. – 07
84. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL HERBAPEGAGAN 9 CONTLLA ASIATICA (L) URRB ) TERHADAPAKTIVITAS FAGOSITESIS MAKKROFAG PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS – 07
85. PENGARUH PRAPERLAKUAN AIR PERSAN RIMPANG BENGLE (ZINGIBER PURPUREUM ROXB) TERHADAP EFEK ANALGETIK PARACETAMOL PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN METODE RANGSANG KIMIA – 06
86. PENGARUH PERPELAKUAN AIR PERASAN RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.)TERHADAP EFEK ANALGETIK PARACETAMOL PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN METHODA RANGSANG KIMIA – 06
87. PENGARUH PERPELAKUAN AIR PERASAN RIMPANG TEMU HITAM (CURCUMA AERUGINNOSA ROXB) TERHADAP EFEK ANALGETIK PARACETAMOL PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS DENGAN METHODA RANGSANG KIMIA – 05
88. SERBUK HASIL OPTIMASI PENGERINGAN GETAH SALAK PONDOH (SALACCA EUDUCUS REINW L.) SEBAGAI SUSPENDING AGENT SUSUPENSI SULFADIMIDIN DIBANDINGKAN DENGAN CMC – NA – 05
89. PELAKSANAA PELAYANAN INFORMASI OBAT DI SEPULUH APOTEK BESAR DI KAB. BANTUL – 03
90. IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM (DRP)DALAM PENGOBATAN SEPSIS DAN SYOK SEPTIK PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RS DR. SARDJOITO YOGYAKARTA PERIODE 2000-2004, - 05
91. KAJIAN KEAMANAN PENGGUNAAN OBAT PADA PENYAKIT PARU ABSTRUKSI KRONIS DI RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA PADA TAHUN 2004
92. PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN EKSTRAK KERING DAUN DEWA

Rabu, 28 Desember 2011

http://www.google.co.id/imgres?q=gambar+kampus&hl=id&sa=X&biw=1116&bih=425&tbm=isch&prmd=imvns&tbnid=7I4ZFrQgzlaO7M:&imgrefurl=http://gusandymaulana.blogspot.com/2011_01_01_archive.html&docid=vW8fRTVGufUvmM&imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZZ8GhEPtvM_EeY58lUXlE1shaZmlHvbfbehsamdC8i_v0iQRGQGFGevYMxxaKmFW_EtwNhsTK6q9oNkLa-6tQg29ACiXDRHOb4dui9xq_NYB2vVuqX6OfKbqAFrtjP8qViHEndVBIRX27/s1600/kampus%252Bpoltek%252Bpos_0.jpg&w=400&h=300&ei=HPX7Tsq_Co6GrAf60anKDw&zoom=1

BAB IV SPEKTROFOTOMETRI EMISI ATOM

BAB IV SPEKTROFOTOMETRI EMISI ATOM


1.      Emisi atom yang berdasarkan pada sumber eksitasi termal
Pada AAS, kita dapat memperoleh populasi atom analit dengan memasukkan analit kedalam tanur atau nyala, dengan mengukur serapan radiasi oleh atom-atom pada keadaan dasar. Sedangkan pada SEM, kita memperoleh populasi atom analit dengan memasukkan analit kedalam suatu sumber termal (nyala, tanur, busur listrik, bunga api, plasma dan laser), dengan mengukur radiasi atom-atom pada keadaan eksitasi

SEM, dikenal sebagai fotometri nyala, yang sering kita lihat sebagai pancaran kuning dari natrium klorida yang dimasukkan kedalam nyala, nyala api unggun yang kayu bakarnya terbasahi oleh larutan garam, dan pancaran kembang api warna-warni

Dalam spektroskopi pancaran, nyala merupakan sumber yang memiliki energi paling rendah, dan mengeksitasi paling sedikit unsur (± 50 unsur logam). Lebih stabil dibandingkan dengan sumber busur atau bunga api, pada temperatur rendah pancaran spektrumnya relatif sederhana, lebih energetik, dan memiliki daya pisah monokromator yang baik.

Instrumentasi Fotometri Nyala



Monokromator

Detektor

Penguat

Pembaca


Sampel

Pengukur aliran gas

Pembakar








Pengatur tekanan

Bahan bakar oksigen

Nyala

 





















Sama halnya dengan AAS, pada fotometri nyala terdapat komponen pengabutan larutan yang dilakukan dengan cara memasukkan aerosol atau kabut yang mengandung tetesan halus analit kedalam nyala. Setelah pemasukkan sampel, proses pertama adalah desolvasi (penghilangan pelarut) dan diikuti dengan proses disosiasi partikel padat kecil yang menghasilkan atom analit. Atom anlit ini kemudian tereksitasi akibat adanya energi tabrakan dengan molekul-molekul gas nyala yang panas.

Bahan bakar oksidan yang paling umum digunakan pada nyala adalah gas alam-udara atau propana-udara untuk menetapkan unsur natrium dan kalium, selain itu juga hidrogen-oksigen, asitelen-oksigen dan sianogen-oksigen.

Hambatan dalam SEM
a.       Adanya radiasi unsur lain, sehingga terjadi tumpang tindih spektrum
b.      Adanya peningkatan kation dan gangguan anion, terjadinya ionisasi pada temperatur tinggi yang dapat memancarkan spektrum sendiri. Pengionan dapat menurunkan daya radiasi pancaran atomik

Fotometri nyala biasanya diterapkan pada analisis yang sukar atau mustahil dikerjakan dengan cara-cara lain, atau kecepatan agak lebih penting dibandingkan dengan kecermatan tinggi. Teknik ini lebih banyak digunakan untuk penentuan logam Na dan  K, dibandingkan dengan penentuan Ca.

Fotometri nyala tetap penting dalam riset biomedis, kimia klinis, agronomi, analisis air, studi gizi, dan bidang lain dimana tidak ada cara lain untuk menentukan unsur-unsurnya.

Sebagai contoh penentuan kadar litium, sebagaimana yang lazim digunakan bahwa garam litium banyak dipakai dalam kedokteran jiwa, karena memiliki daya penenang yang baik. Namum Li+ bersifat toksik dalam kadar yang kecil dalam darah (1x10-5‑ - 3x10-5‑ M), jelasa ini tidak dapat dideteksi dengan fotometer nyala yang lazim. Oleh karena itu dengan penambahan sedikit K+, sebagai standar dalam, Li dapat ditentukan.


2.      Emisi atom yang berdasarkan sumber plasma dan busur listrik
Sumber Plasma Kopel Indiktif (ICP), merupakan sumber yang lebih baik digunakan walaupun mahal. ICP lebih stabil, pancaran latar belakang yang rendah, dan memiliki energi yang relatif tinggi. Desolvasinya lebih cepat, serta memiliki daya disosiasi yang luas dan tuntas.

Walaupun demikian ICP merupakan sumber yang unggul dengan pesat, namun sumber busur searah lebih modern digunakan pada masa sekarang, tetapi harganya sangat mahal (± 1M).








SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET-VISIBEL(UV-VIS)

BAB II
SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET – VISIBLE (UV - IS)



1.    PENDAHULUAN                                                    
Panjang gelombang cahaya UV dan Visible lebih pendek, sehingga memiliki radiasi berenergi lebih tinggi dari pada panjang gelombang dan radiasi energi IR(k). Sebuah foton berenergi tinggi dalam daerah UV dapat mementalkan sebuah elektron terluar dari sebuah atom atau molekul, sehingga foton ini dapat memutuskan ikatan molekul tersebut(f).


Daerah radiasi/spektrum UV berada pada kisaran 100 – 400 nm, sedangkan daerah radiasi/spektrum VIS berada pada kisaran 400 – 750 nm. Absorpsi cahaya pada daerah ini mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang bernergi lebih rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Transisi ini memerlukan energi sekitar 40 – 300 kkal/mol, energi yang terserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia(f)


Panjang gelombang cahaya UV dan cahaya VIS bergantung pada kemudahan promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek, sedangkan molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Oleh karena itu senyawa yang menyerap  cahaya pada daerah VIS (senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari pada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV yang lebih pendek.


absorpsi pada 100 nm (UV)                      750 nm (VIS)
Makin mudahnya transisi elektron
 




Karena energi absorpsi oleh suatu moleku terkuantisasi, maka absorpsi untuk transisi elektron itu tampak pada panjang-panjang gelombang diskrit sebagai suatu spektrum garis atau peak tajam. Namun tidak demikian halnya pada spektrum UV – VIS, pada spektrum ini terdiri dari pita absorpsi lebar pada daerah panjang gelombang yang lebar. Hal ini disebabkan oleh terbaginya keadaan dasar dan keadaan eksitasi sebuah molekul dalam sub tingkat-sub tingkat rotasi dan vibrasi. Sub tingkat ini memiliki transisi energi yang sedikit sekali perbedaannya, maka panjang gelombang absorpsinya juga berbeda sedikit dan menimbulkan pita lebar yang tampak dalam spektrum itu.








Gambar 1.1. Pemaparan skematik transisi elektron dari suatu tingkat energi rendah kesuatu tingkat energi tinggi


Absorpsi radiasi suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombangn dan alirkan oleh suatu perekam untuk menghasilkan spektru





                                                                                                            O        
 

                                                                                       (CH3)2C        CHCCH3
Panjan
0
Absorban
A
0,5
350
200
400
 









Gambar 1.2. Spektrum UV dari mesitil oksida, 9,2 x 10-5 M, sel 1,0 cm

Gambar 1.2 menunjukkan spektrum UV suatu larutan encer misitil oksida (4-metil-3-penten-2-on) yang menunjukkan susuran (scan) dari 200 – 400 nm. Panjang absorpsi dinyataka sebagai λ maks, yaitu panjang gelombang pada titik tertinggi kurva pada 232 nm. Absorpsi energi derekam sebagai absorbans. Absorbans pada suatu panjang gelombang tertentu didefinisikan sebagai:

  

Dengan            A = Absorbans
                        I0 = intensitas berkas cahaya rujukan
                        I  = intensitas berkas cahaya contoh

Absorbans suatu senyawa pada suatu panjang gelombang tertentu bertambah dengan banyaknya molekul yang mengalami transisi. Oleh karena itu absorbans tergantung pada struktur elektronik ssenyawa dan kepekatan contoh dan panjangnya sel. Oleh karena itu absorpsi energi dinyatakan sebagai absorpsivitas molar (e) dan bukan sebagai absorbans sebenarnya.

Spektrum UV dialur ulang untuk menunjukkan ε atau log ε, dan bukan A sebagai ordinat. Nilai log ε terutama bermanfaat bila harga ε sangat besar.


Dengan            A = Absorbans
                        ε = absorpsivitas molar
                        c = konsentrasi molar (M)
                        l  = panjang sel (cm)


2.    TIPE TRANSISI ELEKTRON
Keadaan dasar suatu molekul organik emngandung elektron-elektron valensi dalam tiga tipe utama orbital molekul: orbital sigma (σ), orbital pi (π) dan orbital teririsi tetapi tidak terikat (η)

Elektron σ
Elektron π
Elektron η
. .
 


. .
H : CH3                                               CH2 : : CH2                 CH3 OH

Orbital σ dan π dibentuk dari tumpang tindih dua orbital atom atau hibrid, oleh karena itu masing-masingn orbital molekul ini mempunyai suatu σ* atau π* anti bonding yang berikatan dengannya. Suatu orbital mengandung π elektron tidak mempunyai suatu orbital antibonding.

σ*
Transisi-transisi elektron mencakup promosi suatu elektron dari salah satu dari tiga keadaan dasar (σ, π atau η) kesalah satu dari dua keadaan eksitasi (σ* atau π*). Terdapat enam transisi yang mungkin dengan empat trnasisi yang penting yaitu:
n         π#
< 105 kkal
(> 270 nm)
n         σ #
< 150 kkal
(> 185 nm)
π        π#
< 170 kkal
(> 165 nm)
σ        σ #
< 170 kkal
(> 165 nm)
σ
π
n
π*
E

Gambar 2.1 Persyaratan energi untuk transisi elektronik

Daerah yang paling berguna dari spektrum UV adalah daerah dengan penjang gelombang diatas 200 nm. Transisi berikut menimbulkan absorpsi dalam daerah 100 – 200 nm yang tak berguna;   π          π* untuk ikatan rangkap menyendiri, dan σ        σ* untuk ikatan karbon-karbon biasa. Transisi yang berguna (200 – 400) adalah π          π* untuk senyawa dengan ikatan rangkap terkonyugasi serta beberapa transisi σ          σ* dan π          π*.
3.    WARNA DAN PENGLIHATAN
Warna merupakan hasil dari kompleks respon faali dan psikologis terhadap panjang cahaya antara 400 – 750 nm yang ditangkap oleh retina (selaput jala) mata. Jika semua panjang gelombang cahaya VIS mengenai retina, akan diterima (dirasakan) warna putih, namun jika tidak satupun panjang gelombang mengenai retina maka akan diterima (dirasakan) warna hitam atau gelap. Jika panjang gelombang dengan rentang (range) sempit jatuh pada retina mata, maka akan diterima (dirasakan) warna-warna individu (Tabel 1.1 BAB I)

Pengindraan warna ditimbulkan oleh berbagai proses fisis. Berikut ini beberapa contoh bagaimana cahaya dengan suatu panjang gelombang tertentu dapat diarahkan kemata:
a.       Warna kuning jingga nyala natrium ditimbulkan oleh pancaran (emisi) cahaya dengan panjang gelombang 589 nm, pancaran ini disebabkan oleh kembalinya elektron tereksitasi keorbital energi rendah.
b.      Suatu prisma menyebabkan difraksi cahaya yang berubah-ubah menurut panjang gelombangnya; panjang gelombang yang terpisah-pisah ini kelihatan seperti pola pelangi.
c.       Interferensi diakibatkan oleh dipantulkannya cahaya pada dua permukaan film yang sangat tipis (misalnya gelembung sabun atau bulu burung). Gelombang cahaya yang dipantulkan oleh permukaan-luar dan permukaan-dalam taksefase, shingga terjadi interferensi gelombang dan pada beberapa panjang gelombang terjadi keadaan saling melemahkan, sehingga sebagai ganti cahaya putih akan tampak beberapa warna.
d.      Absorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh suatu zat. Senyawa organik dengan konyugasi yang ekstensif menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu karena adanya transisi π          π* dan n          π*. Apa yang tampak bukanlah warna yang diserap, melainkan komplemennya, yang dipantulkan. Warna komplemen/warna pengurangan (subtraksi), merupakan hasil pengurangan beberapa panjang gelombang VIS dari dalam spektrum visual keseluruhan
Sebagai contoh senyawa pentasena menyerap pada 575 nm dalam bagian kuning dari spektrum VIS, sehingga pentasena menyerap cahaya kuning (dan sedikit cahaya disekitar kuning) dan memantulakn cahaya dengan panjang gelombang lain, sehingga pentasena menimbulkan warna biru, yang merupakan komplemen dari warna kuning
Terkadang beberapa senyawa menampakkan warna kuning meskipun λmaks mereka berada dalam daerah spektrum UV, misalnya koronena. Dalam hal ini absorpsi menjorok dari daerah UV ke daerah VIS dan menyerap pada panjang gelombang ungu ke biru

A
Panjang gelombang, nm
500
400
300
0
Daerah UV
Daerah VIS
 
Gambar 3.1 Spektrum senyawa daerah UV juga menyerap cahaya pada daerah VIS

4.    MEKANISME PENGLIHATAN
Mata manusia merupakan organ rumit yang mengagumkan, dapat mengubah foton cahaya menjadi denyut syaraf yang berjalan ke otak dan menghasilkan penglihatan. Mekanisme mata sangat peka, hanya sekitar satu kuantum energi cahaya yang diperlukan untuk menghasilkan proses penglihatan. Mata manusia hanya mampu mendeteksi 100 foton cahaya saja, bila dibandingkan dengan bola lampu yang mampu memancarkan sekitar 2 x 1018 foton per detik.

Retina mata mengandung dua jenis fotoreseptor; tongkat dan kerucut. Kerucut berisi pigmen dan berperan dalam melihat warna dan daya penglihatan dalam keadaan terang benderang, dan bila mata kekurangan fotoreseptor kerucut akan buta warna. Jenis tongkat berperan dalam penglihatan hitam dan putih yang digunakan pada keadaan yang sangat gelap.

Dalam reseptor tongkat, cahaya dideteksi oleh pigmen ungu-kemerahan yang disebut rodopsin atau ungu visual (λmaks = 500 nm), yang terbentuk dari suatu aldehida 11-cis-retinal dan suatu protein yang disebut opsin. Kedua komponen ini saling terikat satu sama lain dan tidak mudah dihidrolisis, dan

CHO
10
11
12
13
+  H2N – opsin
CH = +NH – opsin
 – H2O
11-cis-retinal
rodopsin
Ikatan ion iminium
Ikatan rangkap 11-cis
rodopsin
CH = +NH – opsin
cis
H
H
batorodopsin
lumirodpsin
Metarodopsin I
 – H2O
Metarodopsin II
+  H2N – opsin
Serba-trans-retinal
trans
H
H
CHO
 









Bila sebuah foton cahaya diserap oleh komponen ini maka ikatan rangkap 11-cis diisomerkan menjadi ikatan rangkap trans, sehingga menghasilkan zat antara berenergi tinggi yang mengalami transformasi. Zat antara ini tidak pas kedalam kantung opsin, maka ikatannya akan terputus atau terhidrolisis dan zat antara tersebut dibebaskan

NH
 CO2-
opsin
terlindung
+NH
 CO2-
opsin
tersingkap; mengalami hidrolisis
foton (hv)
Dalam proses hidrolisis ini terjadi aktivasi enzim sehingga mengubah permeabilitas ionik dari sel fotoreseptor dengan demikian mengubah sifat listriknya. Perubahan-perubahan inilah yang menyebabkan terjadinya implus syaraf

Vitamin penting bagi manusia, karena merupakan penghasil rodopsin

[O]
Retinol dehidrogenase
CH2OH
Vitamin A (retinol)
11-cis-retinal
CHO
opsin
rodopsin
CH = +NH – opsin
Serba-trans-retinal
COH
Retinal isomerase

 

5.    SENYAWA BERWARNA DAN ZAT WARNA
Alam semesta kaya akan warna, dengan warna bulu burung kolibri dan merak yang timbul dari difraksi cahaya oleh struktur unik bulu burung. Namun kebanyakan warna alam disebabkan oleh absorpsi panjang gelombang tertentu cahaya putih oleh senyawa organik, hal ini telah diketahui sebelum dikembangkannya teori transisi elektron, bahwa senyawa organik dapat menimbulkan warna

Bagian struktur senyawa organik yang dapat menimbulkan warna terletak pada gugus takjenuhnya, yang dapat mengalami transisi π          π* dan n          π* dan disebut kromofor; suatu istilah yang dikemukan pada tahun 1876 (Yunani: chroma “warna” dan phoros “mengemban”)

Beberapa kromofor
                                                                                                                                                  O
   C = C           –C     C–                                                          –N = N–          –NO2               –C–    
Selain itu juga pengamatan dengan hadirnya beberapa gugus lain dapat mengintensifkan warna, yang disebut dengan istilah auksokrom (Yunani: auxanein “meningkatkan”). Gugus ini tidak dapat melakukan transisi π          π*, tapi dapat melakukan transisi n.

Beberapa auksokrom
– OH               – OR               – NH2              – NHR                        – NR2              – X

5.1.  SENYAWA BERWARNA
Naftokuinon dan antrakuinon merupakan bahan pewarna alamiah yang lazim, seperti juglon (naftakuinon) berperan dalam pewarnaan kulit biji walnut (semacam kenari), lawson dengan struktur sama dengan juglon terdapat dalam enai (henna) digunakan sebagai pengecat merah rambut

Suatu contoh antrakuinon yang khas adalah asam karminat, merupakan pigmen merah cochineal serangga kepik (coccus cacti L) yang digunakan sebagai zat warna merah dalam makanan dan kosmetik. Alizarin juga merupakan kelas antrakuinon

Kebanyakan warna bunga merah dan biru disebabkan oleh glukosida yang disebut antisianin dan bagian buka gulanya disebut anto sianidin yang merupakan suatu tipe garam flavilium. Warna tertentu yang ditimbulkan antosianin, tergantung pada pH bunga, warna biru bunga cornflower dan warna merah bunga mawar ditimbulkan oleh antosianin yang sama, yaitu sianin. Pada sekuntum warna merah, sianin berada dalam bentuk fenol, sedangkan warna biru pada bunga cornflower, sianin berada dalam bentuk anionnya dengan kehilangan sebuah proton salah satu gugus fenolnya

Garam flavium berasal dari nama flavon yang merupakan senyawa yang tak berwarna, dengan adanya adisi gugus hidroksil senyawa ini menghasilkan flavonol yang berwarna kuning


5.2.  ZAT WARNA
Zat warna adalah senyawa organik berwarna yang digunakan untuk memberi warna kesuatu objek. Zat warna yang tertua adalah indigo, yang telah lama digunakan oleh orang Mesir untuk mewarnai pakaian mummi, ungu tirus dari sifut Murex ditemukan di kota tirus, yang digunakan oleh orang Romawi untuk mewarnai jubah maharaja, dan alizarin (merah turki) dari pohon madder yang digunakan untuk mewarnai baju merah prajurit inggris.

Zat warna terbagi kedalam beberapa tipe yaitu
a.       Zat warna langsung (direct dye) adalah zat warna yang diaplikasikan langsung ke dalam objek dari dalam larutan (air) panas.
b.      Zat warna tong (vat dye) adalah zat warna yang diaplikasikan pada objek (dalam suatu tong) dalam bentuk terlarut dan dibiarkan bereaksi menjadi bentuk yang taklarut
c.       Zat warna mordan (mordant) adalah zat warna yang taklarut pada suatu objek dengan mengkomplekskan atau menyepit (chelat) dengan ion logam yang disebut mordan (mengigit)
d.      Zat warna azo dilakukan dengan objek yang dibasahi senyawa aromatik yang tak aktif terhadap substitusi elektrofilik, kemudian diolah dengan suatu diazonium untuk membentuk warna.

5.3.  INDIKATOR ASAM BASA
Adalah suatu senyawa organik yang berubah warna dengan berubahnya pH, yang digunakan sebagai indikator titik akhir titrasi seperti kertas lakmus, jingga methil dan phenolftalein. Indikator berubah warna karena sistem kromofornya diubah oleh reaksi asam-basa

6.    KUANTITAS ABSORPSI
Spektra absorpsi dapat diperoleh dengan menggunakan sampel dalam berbagai bentuk; gas, lapis tipis cairan, larutan dengan berbagai pelarut dan zat padat.

Secara matematis hubungan antara absorpsi radiasi dan panjang lintasan melewati medium yang menyerap, pertama kali di perkenalkan oleh Bouger (1729) dan Lambert Beer (1768)

                                               
                                                Bouger                                        Lambert








P0        =   daya radiasi yang masuk
P          =   daya radiasi yang diteruskan
A         =   absorbansi = log P0/P
b          =   panjang lintasan yang menembus medium pengabsorpsi
                 A = abcg/liter atau A = εbcmol/liter
                 ε = a x MW
                 MW = massa molekul zat pengabsorpsi
T          =   transmittan = P/P0
                 %T = (P/P0) x 100
                 A = log (1/T)


6.1.  Penyimpangan Hukum Bouger-Beer
Penyimpangan Kimia
Penyimpangan ini terjadi pada pengukuran absorbans pada sederetan asam lemah, HB. Derajat disosiasi HB (fraksi yang terionkan) bervariasi menurut banyaknya HB yang dimasukkan dalam tiap larutan jika volume akhirnya sama. Fraksi yang hadir sebagai B- akan berkurang dengan bertambahnya konsentrasi HB, maka akan terjadi penyimpangan negatif  yaitu εB- > εHB, dan sebaliknya jika εHB > εB- akan terjadi penyimpangan positif, sementara sistem harus memenuhi hukum beer pada panjang gelombang dimana εHB = εB- (isobetik).

Penyimpangan ini dapat dihindari dengan melakukan pengukuran pada panjang gelombang isobetik, penyesuaian pH larutan ke nilai yang rendah, penambahan asam kuat untuk menekan pengionan HB dan dengan penambahan alkali kuat secukupnya untuk mengubah bahan menjadi B-.

Penyimpangan instrumen
Hukum Bouger-Beer menyatakan bahwa radiasi yang diperlukan adalah radiasi monokromatik, bila melewati suatu lapisan akan menyerap fraksi yang sama. Namun nila ε bergantung pada panjang gelombang, sehingga nilai absorbans yang terukur mencerminkan distribusi panjang gelombang yang tidak benar-benar monokromatik. Penyimpangan juga dapat terjadi pada instrumen yang digunakan seperti efek kelelahan detektor, ketidaklinieran penguat (sinyal), piranti baca dan ketidakstabilan sumber energi radiasi. Untuk mengatasi hal ini yaitu dengan menggunkan spektrofotometer yang lebih modern.

7.    INSTRUMENTASI
Spektrofometer adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur transmitan atau absorbans suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang tunggal. Instrumen ini terdiri dari kelompok berkas-tunggal (manual) dan berkas rangkap (otomatis)

Instrumen berkas tunggal
Komponen utama yang penting dalam spektrofotometer berkas tunggal maupun berkas rangkap adalah

Sumber

Monokromator

Sampel

Detektor

Penguat

Pembaca

Bagian Optik



Text Box: Bagian Listrik
 






                                                                                                                                









Sumber energi yang digunakan dalam spektrofotometer UV/VIS adalah sebuah lampu pijar dengan kawat rambut yang terbuat dari wolfram, yang mampu memberi keluaran sekitar 325 nm sampai dengan 3 µm.
Monokromotor adalah sebuah piranti yang digunakan untuk mengisolasi suatu berkas radiasi dari suatu sumber yang berkesinambungan, terdiri dari celah sempit dan suatu unsur dispersif. Monokromator yang digunakan adalah monokromator prisma

Cahaya putih
Merah
Violet
 









Sampel merupakan suatu larutan yang diletakkan dalam suatu sel. Sel harus dapat meneruskan energi radiasi dalam daerah UV VIS, dan mempunyai ketebalan antara 1 mm – 10 cm.

Detektor merupakan komponen yang memiliki kepekaan tinggi dalam daerah spektral, respon yang linier terhadap radiasi, waktu respon yang cepat, dapat digandakan, dan kestabilan yang tinggi dengan tingkat noise yang rendah. Detektor merespon perubahan fotokimia (terutama fotografi), efek fotolistrik dan efek termolistrik, dalam spektrofotometer detektor yang digunakan adalah detektor fotolistrik (baik berupa tabung foto atau tabung photomultiplier).

Penguat berfungsi untuk menaikkan voltase yang dihasilkan oleh tabung foto sehingga menghasilkan resistensi masukan yang tinggi

Operasi biasa spektrofotometer berkas tunggal
Untuk menjalankan operasi ini, kita mengeset panjang gelombang tertentu yang diinginkan, dengan menggunakan larutan blanko(larutan murni atau larutan yang mengandung sedikit sampel. Selanjutnya skala instrumen distel agar menunjukkan absorbans angka nol (transmitan 100%). Selanjutnya sampel yang telah disiapkan diukur pada skala yang telah distel tadi. Skala yang dihasilkan umumnya adalah linier

Operasi spektrofotometri diferensial
Pada operasi ini dilakukan ekspansi skala, dari skala kecil menjadi skala yang besar. Ekspansi skala dimaksudkan untuk mengurangi galat instrumen dan galat konsentrasi, dengan cara menyetel transmitan 100% menggunakan larutan standar yang lebih encer dari larutan yang tidak diketahui, serta menyetel transmitan 0% menggunakan larutan standar yang lebih pekat.




40
30
20
10
0
0
0,7
1
0,2
0,3
%T
A
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0,7
1
0,2
A
Larutan standar
Larutan yang tidak diketahui
 


 

Spektrofotometer yang lazim digunakan dalam berkas tunggal adalah Spektronik-20

Lampu
Lensa A
Lensa B
Kisi
Lengan klem
Klem
Celah keluar
Sampel
Penyaring
Tabung foto
Celah masuk



Instrumen Berkas Ganda
Pada instrumen ini, proses pengukuran dilakukan secara otomatis, modern dan berbasis komputer
Sumber

Monokromator

Sampel

Detektor

Pemroses sinyal
Pengubah analog ke digital

Baling-baling

Referensi

Komputer



Galat Dalam Spektrofotometri
Sebab timbulnya galat tidak hanya dalam bentuk instrumentasinya saja, melainkan dapat juga berupa penanganan sampel. Sel sampel harus bersih dari zat-zat lain serta dari sidik jari, sampel harus encer, tidak boleh terdapat gelembung udara dalam sel sampel dan sel harus reprodusible serta kalibrasi panjang gelombang harus diperiksa


Plot Data Spektrofotometri
Spektra absorpsi diplot sebagai %T terhadap λ, A atau ε terhadap λ, dan log A atau log ε terhadap λ

Log A = log (εbc)
            = log ε  +  log b  +  log c

Penerapan Spektrofotometri
Spektrofotometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat kimia dan analisis multikomponen. Spektrum absorpsi yang dihasilkan tidak hanya tergantung pada sifat dasar kimia, namun juga pada faktor-faktor lain seperti perubahan pelarut. Hal ini terkadang dapat menyebabkan geseran dari pita absorpsi, sehingga dapat menimbulkan spektrum absorpsi yang tumpang tindih satu sama lain.




Absorpsi spektrum yang dihasilkan pada dua buah sampel da dua buah panjang gelombang dapat berupa spektrum tanpa tumpang tindih, spektrum tumpang tindih satu arah dan tumpang tindih dua arah
λ1
A
λ1
X
Y
 














Spektrum tanpa tumpang tindih


A
λ1
λ1
X
Y
A
λ1
λ1
X
Y


Spektrum tumpang tindih satu arah                   Spektrum tumpang tindih dua arah

Penanganan Sampel
Sampel diperlakukan dengan cara melibatkan reaksi-reaksi redoks, misalnya penentuan Mn dilakukan dengan oksidator persulfat atau periodat menjadi Mn(IV).

2Mn2+ + 5S2O42- + 8H2O                    2MnO4- + 10SO42- + 16H+

MnO4- berwarna ungu dan diukur pada panjang gelombang 525 nm. Begitu juga dengan kromium dioksidasi menjadi Cr(IV)

Contoh lain penentuan besi dilakukan dengan menggunakan warna merah yang didapat dari reaksi besi(III) dengan tiosinat

Fe3+ + SCN-                (FeSCN)2+

Jadi kesimpalannya adalah sampel yang akan dilakukan penegukuran haruslah berwarna.